Kalah Bukan Pasrah

Kalah Bukan Pasrah
Sumpah Pemuda

Jumat, 06 Desember 2013

Om Kopassus

Para Kopassus, Tolong Preman dan Koruptor Lain Di-''Cebongan''-kan Juga !
Sat, 06/04/2013 - 20:24 WIB
Para Kopassus, kami rakyat kecil udah muak banget pada ketidak adilan selama ini. Kami sudah putus asa berharap pada  politikus, birokrat, ulama, apalagi polisi. Mereka maling semua. Minimal hampir semua. Mereka sudah menyakiti rakyat berulang kali, tanpa rasa bersalah sedikitpun. Mereka malah bangga. Mereka sudah membunuh jutaan harapan.
Om Kopassus, pada siapa lagi kami berharap? Pada KPK? Gak bisa, karena disana ada Busyro M dan Bambang Wj. Mereka itu double agent.
Berharap pada SBY? Gak bisa, ia sibuk ngurusin partainya yang jadi sarang garong.
Berharap pada media massa? Gak bisa. Di Indonesia ini cuman Kompasiana yang gak bisa dibeli. Karena yang nulis di sini gak kenal mata uang. Lagian, yang nulis ratusan ribu orang, gimana mau menyuapnya? Media yang lain?  Semua milik politisi dan preman.
Om Kopassus, tolonglah kami! Kami rakyat kecil yang selalu diperas dan ditindas, ditipu dan diperkosa!
Kami janji, nanti kami akan gotong royong urun dana untuk belikan peluru. Tapi tolong dihemat. Karena kami miskin.  Satu peluru satu nyawa. Tembak saja tepat di antara dua mata para preman dan maling  berdasi itu. Nanti mayatnya kami yang buang ke laut.
Om Kopassus, terima kasih sudah mengurangi sumber penyakit di negeri tercinta ini. Tetapi yang lain masih sangat banyak lagi. Tolong basmi sampai habis.
Om Kopassus, jangan kecewakan harapan kami, rakyat Indonesia.
Atas nama rakyat tertindas.
Bang Pilot.(KCM/Kompasiana)









Jumat, 26 Juli 2013

Habib Rizieq Sebut SBY Hanya Pecundang



Habib Rizieq Sebut SBY Hanya Pecundang


Disebut sebagai dalang kerusuhan di Kendal, Jawa Tengah, Front Pembela Islam (FPI) mengatakan jika Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) cuma seorang pecundang.
Ketua Umum FPI Rizieq Syihab menjelaskan kronologi kerusuhan Kendal di situs resmi FPI. Dirinya mengaku saat itu 20 anggota FPI yang hendak berbuka puasa melihat tempat pelacuran masih buka, laskar FPI meminta pelacuran tersebut ditutup.
Besoknya, FPI datang bersama Kapolres untuk menutup lokalisasi itu. Namun, FPI mengungkapkan jika mereka dihadang preman yang menimbulkan kerusuhan antara preman yang menyerang FPI.
"Kasihan, ternyata SBY bukan seorang negarawan yang cermat dan teliti dalam menyoroti berita, tapi hanya seorang pecundang yang suka sebar fitnah dan bungkam terhadap maksiat," kata Rizieq dalam siaran pers di situs FPI yang beralamatkan di fpi.or.id.
FPI juga menuding jika SBY adalah menyengsarakan rakyat dengan partai terkorup, melindungi pelaku maksiat hingga mengkhianati Islam.
"SBY ingin mengkritisi FPI boleh saja, tapi hendaknya berkaca dulu, karena SBY adalah Ketua umum partai terkorup yang mudharatnya sangat menyengsarakan rakyat. Yang lebih miris lagi, menurut cerita seorang mantan menteri SBY, bahwa Presiden SBY tidak salat. Dua poin tersebut bukan hanya mencederai Islam, tapi mengkhianati Islam," tulis Habib Rizieq. (ec)



Kamis, 25 Juli 2013

Sering Terjadi Pelecehan Terhadap Seorang Kepala Negara

Mengapa Sering Terjadi Pelecehan Presiden SBY?

Seorang wartawan senior yang pernah meliput kegiatan Presiden Soeharto di era 1980-an, hanya bisa geleng-geleng kepala ketika mendengar Presiden SBY dilecehkan.

Bayangkan, kata sang jurnalis! Seorang Kepala Negara/Kepala Pemerintahan yang dipilih langsung oleh mayoritas penduduk Indonesia, dengan entengnya disamakan atau dilecehkan seperti rakyat biasa yang tidak punya legitimasi kekuatan apalagi kekuasaan.

Sementara yang melakukan pelecehan adalah rakyat biasa yang tidak punya legitimasi setara dengan sang Presiden. Jabatan Presiden yang semestinya sakral karena dilindungi konstitusi, menjadi sejajar dengan jabatan pemimpin di sebuah desa.

Hanya saja karena si rakyat biasa memiliki keberanian dan kenekadan, kemudian mengklaim sebagai pemimpin atau tokoh masyarakat, maka jadilah si rakyat jelata bagaikan seorang tokoh bangsa yang memiliki kredibilitas dan akuntabilitas. Padahal keberanian dan kenekadan itu tak lebih dari sebuah sikap gertak sambal.

Terakhir yang melecehkan Presiden SBY adalah Ketua Umum Front Pembela Islam (FPI), Habib Riziek. Habib yang suka menggunakan baju khas dari Timur Tengah ini menyebut Presiden SBY seorang pecundang.

Habib Riziek bukan satu-satunya pemimpin organisasi massa yang melakukan hal serupa. Tetapi pelecehan Riziek menjadi semacam anti-klimaks sebab setelah itu SBY tidak lagi melayaninya. Hanya orang-orang sekitar SBY yang meladeni Habib Riziek yaitu Menko Polkam dan Sekretaris Kabinet.

Sekalipun sudah mencapai anti-kilmaksnya, tetapi pelecehan terhadap SBY sepertinya tak akan berhenti. Sebab para pelaku pelecehan seperti mendapat amunisi dan enerji baru. Mereka menlai Presiden SBY tidak punya keberanian. SBY tidak seperti yang dimiliki pendahulunya, khususnya Jenderal Soeharto. Hal mana membuat banyak kalangan mulai menarik kesimpulan, kewibawaan SBY sebagai Presiden atau pemimpin nasional telah tergerogoti.

Parahnya lagi, ketika Presiden SBY berusaha menetralisir situasi akibat terjadinya "perang pernyataan", SBY tidak bisa "memenangkan perang" tersebut. SBY terus saja menjadi seorang pecundang.

Sekalipun tidak bisa disebut, SBY sering menjadi "bulan-bulanan" oleh para pelaku pelecehan, tetapi nyata sekali Presiden ke-6 Republik Indonesia ini seperti bukan seorang eks tentara apalagi jenderal bintang empat.

Lazimnya seorang eks militer, bila ada yang berani melecehkannya, ia akan melakukan perlawanan. Seorang jenderal seperti SBY lazimnya tak akan bisa menerima apabila harga dirinya diinjak-injak.

Bagi sang jurnalis tadi, apapun alasannya, pelecehan terhadap seorang Kepala Negara/Kepala Pemerintahan, merupakan sebuah pengingkaran atas budaya santun dan kekeluargaan dari bangsa Indonesia.

Berbagai literatur maupun penilaian umum tentang Indonesia selalu mengklaim bahwa Indonesia berisikan kelompok masyarakat yang berbudaya tinggi. Salah satu cirinya adalah ketaatan dalam soal saling menghargai antar sesama.

Tutur kata dan sapaan orang Indonesia selalu santun. Ditambah lagi Indonesia sebagai negara yang memiliki penduduk yang taat beragama, serta sikap manusia Indonesia selalu mencerminkan sosok yang mengedepankan kedamaian dan ketentraman.

Adanya pelecehan terhadap SBY yang makin tinggi intensitasnya, membuat sang jurnalis teringat pada masa-masa kepemimpinan Jenderal Soeharto (1966-1998). "Di era Pak Harto, keadaan seperti ini tidak mungkin bisa terjadi...," tutur sang wartawan dalam sebuah percakapan antar sahabat.

Diakuinya, di era Soeharto kontrol pemerintah terhadap rakyat sangat ketat. Militer yang menjadi alat "pemukul" Presiden Soeharto, ikut menjadi pihak pengontrol masyarakat. Kebebasan berbicara, beropini dan berkumpul, nyaris tak ada.

Sekelompok individu militer juga ada yang melakukan tindakan yang melebihi batas kepatutan terhadap rakyat yang berani melecehkan Presiden Soeharto. Diakuinya, kehidupan berdemokrasi di era Soeharto, sangat terbatas. Tetapi kententraman di masyarakat dirasakan sangat kondusif.

Lantas siapa atau pihak mana yang harus disalahkan dengan munculnya keberanian rakyat melecehkan Presiden SBY? Terdapat sejumlah analisa dan penilaian. Mulai dari menyalahkan Presiden SBY sendiri, karena sikapnya yang tidak tegas tapi ada juga yang menuding orang-orang kepercayaan SBY yang tidak memiliki kepekaan terhadap situasi.

Di era Soeharto, lanjut sang jurnalis tidak ada situasi yang membuka peluang masyarakat melecehkan Presiden sebab para pembantu Presiden (Menteri) benar-benar bekerja dan membantu Presiden. Setiap gerakan yang muncul di masyarakat, langsung diantisipasi, kemana gerangan arahnya. Sebelum turun hujan para pembantu Presiden buru-buru menyiapkan payung.

Ia memberi contoh pada sikap dua Menteri, Subroto (Menteri Pertambangan) dan Moerdiono (Sekretaris Kabinet/Sekretaris Negara). Kedua Menteri bertugas dan bertanggung jawab atas bidang yang berbeda. Namun koordinasi di antara mereka berjalan sangat lancar, membuat tugas mereka yang berbeda bisa menghasilkan hal yang produktif bagi pemerintahan Presiden Soeharto.

Di era itu, minyak mentah merupakan komoditi terpenting dalam APBN. Lebih dari 50% anggaran yang disusun dalam APBN, sumber pendapatannya berasal dari penjualan minyak mentah.

Setiap awal tahun, minggu pertama Januari, Presiden Soeharto menyampaikan pidato Pengantar Nota Keuangan yang akan menjadi inti dari penyusunan APBN yang berlaku per 1 April. Agar pidato pengantar tersebut sinkron, Menteri Perminyakan dan Moerdiono sebagai penulis pidato, jauh-jauh hari sudah melakukan koordinasi.

Salah satu koordinasi yang dilakukan oleh kedua Menteri adalah memberi input kepada wartawan. Yang dipilih adalah wartawan atau media yang dianggap memiliki kemampuan membuat laporan tentang hal-hal fundamental yang menjadi peran dari penjualan minyak mentah dalam APBN. Hasilnya masyarakat paham tentang konstalasi ekonomi dan pada akhirnya politik. Minim gejolak. Presiden tak pernah disepelekan.

Ada peran ringan tapi penting yang dilakukan Menteri Subroto. Dia memangggil dan berdiskusi dengan seorang wartawan yang melakukan wawancara dengan Dubes RI untuk Jerman Barat, Joseph Muskita. (Ketika itu, Jerman masih terpecah dua : Barat dan Timur).

Dalam wawancaranya, Muskita menyebut ia tidak setuju keputusan pemerintah yang membangun kilang minyak (hydrocracker) dengan teknologi Spanyol. Sebab teknologi Spanyol, kualitasnya kalah jauh dengan teknologi Jerman Barat - negara yang diwakilinya.

Pernyataan itu tergolong kontroversil. Sebab seorang Duta Besar mengoreksi secara terbuka kebijakan Menteri atau pembantu Presiden yang berada di pusat kekuasaan. Tapi yang cukup menarik, berita kontroversil itu segera diredam dengan cara yang sangat elegan oleh Menteri Subroto.

Khawatir, kalau pernyataan itu ada kaitannya dengan sikap sejumlah jenderal di Jakarta yang satu angkatan dengan Joseph Muskita - di mana mereka antara lain sudah membentuk Kelompok Petisi 50, Subroto meminta masukan dari wartawan yang mewawancarai Muskita.

"Apakah Pak Dubes bicara lain disamping hydrocracker?", bertanya Menteri Subroto "Tidak ada pak. Hanya itu", jawab wartawan. "Tolong saya dibantu. Sebab Pak Muskita dengan Jenderal Mokoginta, salah satu penanda tangan Petisi 50, mereka berdua satu korps", jelas Menteri Subroto.



Setelah yakin bahwa pernyataan Dubes Muskita, murni soal hydrocarcker, pernyataan itu pun tidak lagi dipersoalkan. Walaupun tidak lama kemudian, Muskita dipanggil pulang dari Bonn, ibukota Jerman Barat.

Dalam pemerintahan Presiden SBY, kita tidak menemukan sosok Menteri yang memainkan peran seperti Subroto dan Moerdiono. Menteri-Menteri dalam Kabinet Indonesia Bersatu periode kedua, sebetulnya banyak yang pintar. Mereka juga punya rujukan bagaimana menjadi Pembantu Presiden yang benar dan efektif. Tetapi entah mengapa hal itu tidak dirasakan masyarakat.

Kita punya Menko Polkam, tapi yang kita rasakan, kementerian ini tidak ikut menciptakan rasa aman dalam kehidupan sehari-hari. Politik yang juga menjadi tanggung jawabnya, semakin amburadul. Yang terjadi Menko Polkam lebih sering tampil seperti menteri yang lemah gemulai. Lebih galak Menteri Agama dari pada Menko Polkam.

Dan yang cukup mengejutkan sikap atau peran Sekretaris Kabinet. Sikap Sekretaris Kabinet Dipo Alam lebih banyak mengingatkan perangainya sebagai aktifis mahasiswa. Yang senang berkonfrontasi. Akibat dari semua ini, antara lain Presiden yang terkena getah. Enak tenan jadi Menteri di zaman pemerintahan SBY.


sumber: inilah.com

Senin, 18 Maret 2013

Rekaman Penyadapan KPK

Rekaman Penyadapan KPK Ini Bikin Saksi Tertunduk Malu

Jaksa KPK memang sering memutar rekaman penyadapan di persidangan. Namun rekaman kali ini membuat malu saksi. Apa isinya?
Rekaman penyadapan ini diputar dalam sidang lanjutan perkara dugaan korupsi pengadaan Alquran dan laboratorium komputer MTs di Pengadilan Tipikor, JL Rasuna Said, Senin (18/3/2013) dengan terdakwa Zulkarnaen Djabar dan Dendy Prasetia. Suara rekaman itu adalah percakapan antara Dendy dan saksi yang dihadirkan, Vasko Rusemy.
"Padahal Ketua yang nyuruh gw ke My Place tahu nggak. Ko ke My Place dong, lo ke sini aja. Ketua yang BBM gw. Gw tanya, Ketua serius ini di Sultan atau di My Place," ujar Vasko kepada Dendy.
Yang dimaksud 'Ketua' adalah Fahd el Fouz yang saat itu menjabat sebagai Ketua Umum Gema MKGR.



"Gw bilang kaya gitu bukan artinya mau ikut ke My Place," lanjut Vasko.
"Kalau di My Place nggak enak juga kan. Masa cuma tinggal berendam doang, dia juga pasti nggak ganggu-ganggu. Kalau di My Place lo pasti kabur kan," jawab Dendy.
"Kalau My Place nungguin orang enak-enakan, manja-manjaan," kata Vasko.
Tidak jelas saat itu apa yang sedang dibicarakan kedua orang tersebut. Di antara mereka lebih banyak tertawa. Vasko terdengar beberapa kali menyebut kata kasar dengan nada bercanda.
Kebetulan suaranya pun ada yang tak terdengar jelas. Ada beberapa orang serta lokasi juga yang disebut, namun tidak jelas.
Saat rekaman ini diputar, Vasko pun menutup muka dengan tangan. Duduknya gelisah. Sedangkan Dendy terus memperhatikan jaksa. Zulkarnaen sendiri sibuk mencoret-coret kertas di atas meja nya.

Setelah percakapan itu, kedua orang ini melanjutkan pembicaraan soal rencana ke Kementerian Agama. Usai pemutaran rekaman itu, Vasko pun buru-buru meminta maaf ke majelis hakim.

"Maaf yang mulia, tadi banyak kata-kata kasar," jelas Vasco lemas.

sumber: detikcom




Sabtu, 16 Maret 2013

"SBY" Mengeluh

Updated: Wed, 13 Mar 2013 05:23:52 GMT | By bahol, okezone.com
SBY Ngeluh ke Prabowo Soal Bawahannya
JAKARTA - Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) mengeluhkan tentang stagnannya birokrasi di masa kepemimpinannya. Bahkan, meski telah diinstruksikan agar kinerjanya diperbaiki namun perintah SBY tersebut tidak dijalankan oleh bawahannya.

"Birokrasi menjadi salah satu hambatan pembangunan yang dihadapi Indonesia saat ini. Ini persoalan human capital yang harus ditingkatkan. Kebijakan yang sudah diputuskan Presiden, kadang tak dijalankan oleh menteri atau Dirjen bahkan bisa dijegal di level direktur. Itulah yang disampaikan Presiden dalam pertemuan dengan Prabowo," ungkap Wakil Ketua Umum DPP Partai Gerindra, Fadli Zon, saat menuturkan hasil pertemuan Prabowo dengan SBY beberapa hari lalu kepada Okezone, Rabu (13/3/2013).

Seharusnya kata dia, hal itu menjadi evaluasi bagi mesin birokrasi yang seharusnya menjalankan kebijakan tapi justru menghambatnya.

"Pengakuan presiden merupakan realitas, namun perlu segera ditemukan solusi agar tidak jalan di tempat. Perpres No.81/2010 tentang grand design reformasi birokrasi juga harus dilihat relevansinya. Saat ini reformasi birokrasi lebih identik dengan peningkatan insentif melalui remunerasi. Namun faktanya, meski sudah ada kenaikan remunerasi, banyak kebijakan yang tidak jalan implementasinya. Atau pelaksanaannya tidak seperti yang diharapkan," jelas dia.

Selain itu, kata dia, birokrasi cenderung membentengi diri. "Ini pengakuan Presiden. Ini tentu sangat berbahaya dan mengganggu proses pelayanan masyarakat. Padahal, Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) kita sebesar 547 triliun atau lebih dari 30 persen habis untuk membayar gaji aparatur," jelas dia.

Maka kata dia, reformasi birokrasi yang berjalan sejak akhir 2006 harus dievaluasi. Realita mandegnya birokrasi atas kebijakan pusat, perlu ada solusi. Sehingga birokrasi tidak lagi dijadikan alat politik.

"Menurut saya, pertama, birokrasi tak efektif karena Presiden kurang tepat menempatkan orang terbaik seperti Menteri atau jajaran pimpinan birokrasi. Harusnya, the best and the brightest (yang terbaik dan paling mampu) serta punya integritas yang dipilih di bidang masing-masing. Hak prerogatif Presiden terbelenggu koalisi partai politik atau setgab. Kedua, birokrasi seharusnya bersih dari kepentingan politik dan tidak boleh jadi alat politik partai manapun. Birokrasi harus melayani rakyat," pungkasnya.








Selasa, 05 Maret 2013

Orang Terkaya INDONESIA

JPNN Logo

Rabu, 06 Maret 2013 , 05:09:00

JAKARTA - Keluarga Hartono masih belum tergoyahkan posisinya sebagai orang paling kaya di Indonesia pada 2013. Merujuk daftar orang paling tajir teranyar yang dirilis majalah bisnis terkemuka Forbes, dua orang keluarga Hartono masih bertengger di posisi puncak. R. Budi Hartono tercatat punya kekayaan USD 8,5 miliar (sekitar Rp 82,5 triliun) dari sektor perbankan dan tembakau.

Bos Djarum dan BCA ini nangkring di urutan pertama Indonesia dan 131 orang terkaya dunia. Posisinya naik dibanding tahun lalu yang berada di ranking 146 dengan harta USD 6,5 miliar (sekitar Rp 63 triliun). Michael Hartono berada di peringkat kedua nasional dan di urutan ke-138 dunia dengan kekayaan USD 8,2 miliar (sekitar Rp 79,54 triliun). Tahun lalu, dia juga di urutan 138 terkaya dunia dengan harta USD 6,3 miliar (sekitar Rp 61,1 triliun).

"Dari 386 orang terkaya di Asia Pasifik, terdapat 25 orang kaya yang berasal dari Indonesia," terang Forbes yang dipublikasikan, Selasa (5/3). Tahun ini Forbes mencatat ada delapan orang kaya Indonesia baru yang masuk dalam daftar orang terkaya di dunia dibandingkan tahun lalu yang hanya 17 orang.

Delapan muka baru itu antara lain Ciputra (USD 1,5 miliar), Sjamsul Nursalim (USD 1,2 miliar), Soegiarto Adikoesoemo (USD 1 miliar), Santosa Handojo USD 1 miliar, Harjo Susanto (USD 1 miliar), dan Alexander Tedja (USD 1 miliar). Sedangkan wajah-wajah lama di antaranya Chairul Tanjung (USD 3,4 miliar), Sukanto Tanoto (USD 2,8 miliar), Hary Tanoesudibjo (USD 1,7 miliar), Murdaya Poo (USD 1,6 miliar), dan Djoko Susanto (USD 1,5 miliar).

Jumlah orang baru Indonesia yang masuk dalam daftar terkaya dunia tersebut sedikit di bawah Tiongkok yang mencatatkan 10 nama baru. Tiongkok menjadi negara dengan daftar nama baru terbanyak.

Secara keseluruhan, Forbes mencatat ada 1.426 orang terkaya di dunia pada 2013. Nilai total harta mereka mencapai USD 5,4 triliun. Amerika Serikat (AS) menjadi negara paling banyak yang menyumbang daftar orang terkaya, yakni 442 orang. Kemudian diikuti negara-negara Asia Pasifik 386 orang, Eropa 366 orang, benua Amerika di luar AS 129 orang, serta Timur Tengah dan Afrika 103 orang.






Kamis, 28 Februari 2013

Logika "HUKUM" Demokrat

Ini Logika Hukum Pembubaran Demokrat !

RIMANEWS : Mon, 25/02/2013 - 08:05 WIB
Korupsi yang menjerat sejumlah kader Partai Demokrat (PD) membuat sejumlah elemen masyarakat mendesak pembubaran partai berlambang mercy tersebut. Jika benar-benar Indonesia negara hukum dan supremasi hukum harus ditegakkan.Salah satu yang mendesak pembubaran PD adalah Koordinator Eksekutif Gerakan Perubahan (Garpu), Muslim Arbi. Dalam siaran persnya, Minggu malam (24/2/2012), Muslim menjelaskan logika hukum yang melandasi desakannya itu.“Ketetapan MPR No. XI Tahun 1998 tertanggal 13 November, dengan tegas menyatakan penyelenggara negara yang bersih dan bebas KKN (korupsi, kolusi dan nepotisme) yang menurut konsideran mengingatnya merujuk Pasal I ayat (2), Pasal 2 ayat (2), Pasal 4, Pasal 16, Pasal 17, Pasal 19, Pasal 23, Pasal 24, dan Pasal 33 UUD 1945,” katanya.
Dalam Pasal 4 TAP MPR tersebut disebutkan upaya pemberantasan korupsi, kolusi, dan nepotisme (KKN) harus dilakukan secara tegas terhadap siapapun juga, baik pejabat negara, mantan pejabat negara, keluarga, dan kroninya maupun pihak swasta/konglomerat termasuk mantan Presiden Soeharto dengan tetap memperhatikan prinsip praduga tak bersalah dan hak-hak asasi manusia.
Dalam pertimbangan TAP MPR tersebut, lanjutnya, dikatakan bahwa tuntutan hati nurani rakyat menghendaki adanya penyelenggara negara yang mampu menjalankan fungsi dan tugasnya secara sungguh-sungguh dan penuh tanggung jawab, agar reformasi pembangunan dapat berdayaguna dan berhasil.
Dan bahwa dalam penyelenggaraan negara telah terjadi praktek-praktek usaha yang lebih menguntungkan sekelompok tertentu yang menyuburkan KKN, yang melibatkan para pejabat negara dengan para pengusaha merusak sendi-sendi penyelenggara negara dalam berbagai aspek kehidupan nasional.
“TAP MPR hingga sekarang ini realitanya belum di cabut, maka jika ada ketua umum parpol ada yang dijadi tersangka oleh KPK dan mengikat pada parpol tersebut karena jabatannya, parpol tersebut sudah melakukan pelanggaran berat terhadap amanat TAP MPR itu,” begitu ujar Muslim Arbi.
Selanjutnya, ia membaca Pasal 1 ayat (3) huruf a. UU No. 8 Tahun 2011 tentang Perubahan UU No. 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi (MK) mengenai pengujian undang-undang terhadap UUD 1945, termasuk pengujian terhadap UU No. 2 Tahun 2011 tentang Perubahan UU No. 2 Tahun 2008 tentang Partai Politik. Pasal 57 ayat (1) dan ayat (2) hal putusan MK yang amar putusannya menyatakan bahwa materi muatan ayat, pasal, dan/atau bagian undang-undang bertentangan dengan UUD 1945, materi muatan ayat, pasal, dan/atau bagian undang-undang tersebut tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat; dan putusan MK yang amar putusannya menyatakan bahwa pembentukan undang-undang dimaksud tidak memenuhi ketentuan pembentukan undang-undang berdasarkan UUD 1945, undang-undang tersebut tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat. “Ini artinya, ada kewenangan MK untuk membubarkan partai politik” katanya.
Selanjutnya ia menjelaskan Pasal 40 ayat (3) huruf d. dan e. UU No. 2 Tahun 2008 tentang Partai Politik yang menyebutkan Partai Politik dilarang meminta atau menerima dana dari badan usaha milik negara (BUMN), badan usaha milik daerah (BUMD), dan badan usaha milik desa atau dengan sebutan lainnya; ataumenggunakan fraksi di MPR, DPR, DPRD provinsi/kabupaten/kota sebagai sumber pendanaan Partai politik.
Begitu juga Pasal 5 ayat (1) dan (2) UU No. 2 Tahun 2011 tentang Perubahan UU No. 2 Tahun 2008 tentang Partai Politik yang menyatakan AD dan ART dapat diubah sesuai dengan dinamika dan kebutuhan Partai Politik; Perubahan AD dan ART sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan berdasarkan hasil forum tertinggi pengambilan keputusan Partai Politik. Pasal 23 ayat (1) disebutkan pergantian kepengurusan Partai Politik di setiap tingkatan dilakukan sesuai dengan AD dan ART.
“Pada konteks UU Parpol, ada larangan yang jelas jika partai tidak boleh meminta atau menerima dana dari BUMN. Begitu pula hal perubahan AD dan ART partai yang harus dilakukan berdasarkan hasil forum tertinggi. Kedua pasal ini terkesan dilanggar oleh Partai Demokrat,” tutur Muslim Arbi lagi seraya menegaskan bahwa proses demokrasi itu dilaksanakan bukan seenaknya melainkan harus ikut aturan dan sesuai konstitusi.
Baik dalam membaca kedua undang-undang, yakni UU MK dan UU Partai Politik tersebut. Kemudian dihubungkan dengan tuduhan KPK terhadap tersangka Anas Urbaningrum yang menggunakan Pasal 11 UU No. 20 Tahun 2001 tentang Perubahan UU No. 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi yang menyebutkan dipidana dengan pidana penjara paling singkat 1 tahun dan paling lama 5 tahun dan atau pidana denda paling sedikit Rp. 50 juta dan paling banyak Rp. 250 juta terhadap pegawai negeri atau penyelenggara negara yang menerima hadiah atau janji, padahal diketahui atau patut diduga, bahwa hadiah atau janji tersebut diberikan karena kekuasaan atau kewenangan yang berhubungan dengan jabatannya, atau yang menurut pikiran orang yang memberikan hadiah atau janji tersebut ada hubungan dengan jabatannya.
Dan membaca Pasal 12 huruf a. dan b. yang menyatakan dipidana dengan pidana penjara seumur hidup atau pidana penjara paling singkat 4 tahun dan paling lama 20 tahun dan pidana denda paling sedikit Rp. 200 juta dan paling banyak Rp. 1 miliar rupiah, jika terdapat pegawai negeri atau penyelenggara negara yang menerima hadiah atau janji, padahal diketahui atau patut diduga, bahwa hadiah atau janji tersebut diberikan untuk menggerakkan agar melakukan atau tidak melakukan sesuatu dalam jabatannya, yang bertentangan dengan kewajibannya; dan jika pegawai negeri atau penyelenggara negara yang menerima hadiah, padahal diketahui atau patut diduga bahwa hadiah tersebut diberikan sebagai akibat atau disebabkan karena telah melakukan atau tidak melakukan sesuatu dalam jabatannya yang bertentangan dengan kewajibannya.Maka menurut, Muslim Arbi, dengan penetapan Anas oleh KPK sebagai tersangka didasarkan hasil gelar perkara yang dilakukan beberapa kali termasuk pada hari Jum’at (22/2) itu dan dalam kaitan dengan proses penyelidikan terkait dugaan penerimaan atau janji berkaitan dengan proses perencanaan pelaksanaan pembangunan sport center Hambalang dan atau proyek-proyek lainnya. Yang mana untuk kasus Hambalang disangkakan terhadap Anas, telah menerima hadiah mobil mewah Toyota Harier oleh PT Adhi Karya yang merupakan BUMN bidang konstruksi.“Dengan KPK kemudian menggunakan jeratan hukum Pasal 11 dan Pasal 12 huruf a. dan b. UU Pemberantasan Korupsi, adalah tepat oleh karena kejahatan korupsi itu telah melanggar Pasal 40 ayat (3) huruf d. dan e. UU Partai Politik,” tuturnya.
Selanjutnya jika dihubungkan dengan Majelis Tinggi Partai (MTP) Demokrat dalam pertemuan di kediaman Ketua MTP Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) di Puri Cikeas, Bogor pada Minggu (24/2) dini hari, yang telah memutuskan pucuk pimpinan Dewan Pimpinan Pusat (DPP) Partai Demokrat (PD) untuk sementara dijalankan empat pimpinan DPP, yakni dua Wakil Ketua Umum Max Sopacua dan Jhonny Alen Marbun, Sekretaris Jenderal Edhi Baskoro Yudhoyono alias Ibas, dan Direktur Eksekutif Toto Riyanto.
“Setidaknya telah melampaui kewenangan yang diatur oleh Pasal 5 ayat (1), ayat (2), dan Pasal 23 ayat (1) UU Partai Politik. Sehingga MK bisa mempertimbangkan dari berbagai undang-undang, termasuk TAP MPR No. XI Tahun 1998, yang membuat keberadaan Partai Demokrat bisa dinilai bertentangan dengan UUD 1945,” imbuhnya.
Ia kemudian mengutip pernyataan dari pengamat hukum Universitas Jember Widodo Eka Tjahyana yang menilai, bahwa penetapan Anas sebagai tersangka sangat memperburuk citra Partai Demokrat, bahkan akan berpengaruh pada Pemilu 2014. Apalagi apabila Anas nanti terbukti menggunakan uang negara seperti dari BUMN (PT Adhi Karya) untuk kegiatan pemenangannya sebagai ketua umum atau kegiatan partai lainnya, maka PD dapat dibubarkan oleh MK. Termasuk partai itu diperkirakan terancam untuk dibubarkan oleh MK, lantaran juga banyaknya kader partai penguasa tersebut yang terjerat kasus korupsi.
Selain itu, ia pun mengutip pernyataan Koodinator Sigma (Sinergi Masyarakat untuk Demokrasi Indonesia), Said Salahudin, Sabtu (23/2), bahwa Pasal 24C ayat (1) UUD 1945 yang mengatur kewenangan MK untuk mengadili pada tingkat pertama dan terakhir yang putusannya bersifat final untuk menguji undang-undang terhadap UUD 1945, memutus sengketa kewenangan lembaga negara yang kewenangannya diberikan oleh UUD 1945, memutus pembubaran partai politik, dan memutus perselisihan tentang hasil Pemilu parpol bisa dibubarkan oleh MK.
Aturan itu menurut Said sudah jelas, tertuang dalam pasal 68 ayat (2) UU No 24 Tahun 2003 tentang MK jo Pasal 2 huruf b Peraturan MK No 2 Tahun 2008 tentang Pedoman Beracara dalam Pembubaran Partai Politik.
Larangan terhadap kegiatan parpol dimaksud pun disebutkan pada Pasal 40 ayat (2) huruf a UU No 2 Tahun 2008, sebagaimana diubah dengan UU No 2 Tahun 2011 tentang Partai Politik. Dikatakan oleh Said bahwa korupsi yang dilakukan secara berkomplot oleh pengurus inti partai yang meliputi ketua umum, bendahara umum, wakil sekretaris jenderal, dan para pejabat lain pada parpol yang sama, tidak bisa disebut sebagai kegiatan korupsi individual oknum parpol, tapi kegiatan korupsi itu harus dikualifikasikan sebagai suatu kejahatan yang dilakukan oleh parpol secara kelembagaan. Sehingga, parpol tersebut bisa dibubarkan.
Salah satu alasan parpol dapat dibubarkan oleh MK, bila kegiatan partai politik bertentangan dengan UUD 1945, atau akibat yang ditimbulkannya bertentangan dengan UUD 1945. Sebelumnya pada 3 Agustus 2012, seniman Pong Hardjatmo beserta Ridwan Saidi, Judilherry Justam, M. Ridha, Gatot Sudatro, dan Masyarakat Hukum Indonesia (MHI), memasukkan permohonan uji materi UU MK tentang pembubaran partai politik di Gedung MK, Jakarta. Dalam permohonan tersebut, mereka mengajukan gugatan untuk pembubaran Partai Demokrat yang dianggap telah merugikan rakyat terkait banyaknya kader partai yang terlibat korupsi. [ach/lensaindonesia.com]