Kalah Bukan Pasrah

Kalah Bukan Pasrah
Sumpah Pemuda

Kamis, 28 Februari 2013

Logika "HUKUM" Demokrat

Ini Logika Hukum Pembubaran Demokrat !

RIMANEWS : Mon, 25/02/2013 - 08:05 WIB
Korupsi yang menjerat sejumlah kader Partai Demokrat (PD) membuat sejumlah elemen masyarakat mendesak pembubaran partai berlambang mercy tersebut. Jika benar-benar Indonesia negara hukum dan supremasi hukum harus ditegakkan.Salah satu yang mendesak pembubaran PD adalah Koordinator Eksekutif Gerakan Perubahan (Garpu), Muslim Arbi. Dalam siaran persnya, Minggu malam (24/2/2012), Muslim menjelaskan logika hukum yang melandasi desakannya itu.“Ketetapan MPR No. XI Tahun 1998 tertanggal 13 November, dengan tegas menyatakan penyelenggara negara yang bersih dan bebas KKN (korupsi, kolusi dan nepotisme) yang menurut konsideran mengingatnya merujuk Pasal I ayat (2), Pasal 2 ayat (2), Pasal 4, Pasal 16, Pasal 17, Pasal 19, Pasal 23, Pasal 24, dan Pasal 33 UUD 1945,” katanya.
Dalam Pasal 4 TAP MPR tersebut disebutkan upaya pemberantasan korupsi, kolusi, dan nepotisme (KKN) harus dilakukan secara tegas terhadap siapapun juga, baik pejabat negara, mantan pejabat negara, keluarga, dan kroninya maupun pihak swasta/konglomerat termasuk mantan Presiden Soeharto dengan tetap memperhatikan prinsip praduga tak bersalah dan hak-hak asasi manusia.
Dalam pertimbangan TAP MPR tersebut, lanjutnya, dikatakan bahwa tuntutan hati nurani rakyat menghendaki adanya penyelenggara negara yang mampu menjalankan fungsi dan tugasnya secara sungguh-sungguh dan penuh tanggung jawab, agar reformasi pembangunan dapat berdayaguna dan berhasil.
Dan bahwa dalam penyelenggaraan negara telah terjadi praktek-praktek usaha yang lebih menguntungkan sekelompok tertentu yang menyuburkan KKN, yang melibatkan para pejabat negara dengan para pengusaha merusak sendi-sendi penyelenggara negara dalam berbagai aspek kehidupan nasional.
“TAP MPR hingga sekarang ini realitanya belum di cabut, maka jika ada ketua umum parpol ada yang dijadi tersangka oleh KPK dan mengikat pada parpol tersebut karena jabatannya, parpol tersebut sudah melakukan pelanggaran berat terhadap amanat TAP MPR itu,” begitu ujar Muslim Arbi.
Selanjutnya, ia membaca Pasal 1 ayat (3) huruf a. UU No. 8 Tahun 2011 tentang Perubahan UU No. 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi (MK) mengenai pengujian undang-undang terhadap UUD 1945, termasuk pengujian terhadap UU No. 2 Tahun 2011 tentang Perubahan UU No. 2 Tahun 2008 tentang Partai Politik. Pasal 57 ayat (1) dan ayat (2) hal putusan MK yang amar putusannya menyatakan bahwa materi muatan ayat, pasal, dan/atau bagian undang-undang bertentangan dengan UUD 1945, materi muatan ayat, pasal, dan/atau bagian undang-undang tersebut tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat; dan putusan MK yang amar putusannya menyatakan bahwa pembentukan undang-undang dimaksud tidak memenuhi ketentuan pembentukan undang-undang berdasarkan UUD 1945, undang-undang tersebut tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat. “Ini artinya, ada kewenangan MK untuk membubarkan partai politik” katanya.
Selanjutnya ia menjelaskan Pasal 40 ayat (3) huruf d. dan e. UU No. 2 Tahun 2008 tentang Partai Politik yang menyebutkan Partai Politik dilarang meminta atau menerima dana dari badan usaha milik negara (BUMN), badan usaha milik daerah (BUMD), dan badan usaha milik desa atau dengan sebutan lainnya; ataumenggunakan fraksi di MPR, DPR, DPRD provinsi/kabupaten/kota sebagai sumber pendanaan Partai politik.
Begitu juga Pasal 5 ayat (1) dan (2) UU No. 2 Tahun 2011 tentang Perubahan UU No. 2 Tahun 2008 tentang Partai Politik yang menyatakan AD dan ART dapat diubah sesuai dengan dinamika dan kebutuhan Partai Politik; Perubahan AD dan ART sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan berdasarkan hasil forum tertinggi pengambilan keputusan Partai Politik. Pasal 23 ayat (1) disebutkan pergantian kepengurusan Partai Politik di setiap tingkatan dilakukan sesuai dengan AD dan ART.
“Pada konteks UU Parpol, ada larangan yang jelas jika partai tidak boleh meminta atau menerima dana dari BUMN. Begitu pula hal perubahan AD dan ART partai yang harus dilakukan berdasarkan hasil forum tertinggi. Kedua pasal ini terkesan dilanggar oleh Partai Demokrat,” tutur Muslim Arbi lagi seraya menegaskan bahwa proses demokrasi itu dilaksanakan bukan seenaknya melainkan harus ikut aturan dan sesuai konstitusi.
Baik dalam membaca kedua undang-undang, yakni UU MK dan UU Partai Politik tersebut. Kemudian dihubungkan dengan tuduhan KPK terhadap tersangka Anas Urbaningrum yang menggunakan Pasal 11 UU No. 20 Tahun 2001 tentang Perubahan UU No. 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi yang menyebutkan dipidana dengan pidana penjara paling singkat 1 tahun dan paling lama 5 tahun dan atau pidana denda paling sedikit Rp. 50 juta dan paling banyak Rp. 250 juta terhadap pegawai negeri atau penyelenggara negara yang menerima hadiah atau janji, padahal diketahui atau patut diduga, bahwa hadiah atau janji tersebut diberikan karena kekuasaan atau kewenangan yang berhubungan dengan jabatannya, atau yang menurut pikiran orang yang memberikan hadiah atau janji tersebut ada hubungan dengan jabatannya.
Dan membaca Pasal 12 huruf a. dan b. yang menyatakan dipidana dengan pidana penjara seumur hidup atau pidana penjara paling singkat 4 tahun dan paling lama 20 tahun dan pidana denda paling sedikit Rp. 200 juta dan paling banyak Rp. 1 miliar rupiah, jika terdapat pegawai negeri atau penyelenggara negara yang menerima hadiah atau janji, padahal diketahui atau patut diduga, bahwa hadiah atau janji tersebut diberikan untuk menggerakkan agar melakukan atau tidak melakukan sesuatu dalam jabatannya, yang bertentangan dengan kewajibannya; dan jika pegawai negeri atau penyelenggara negara yang menerima hadiah, padahal diketahui atau patut diduga bahwa hadiah tersebut diberikan sebagai akibat atau disebabkan karena telah melakukan atau tidak melakukan sesuatu dalam jabatannya yang bertentangan dengan kewajibannya.Maka menurut, Muslim Arbi, dengan penetapan Anas oleh KPK sebagai tersangka didasarkan hasil gelar perkara yang dilakukan beberapa kali termasuk pada hari Jum’at (22/2) itu dan dalam kaitan dengan proses penyelidikan terkait dugaan penerimaan atau janji berkaitan dengan proses perencanaan pelaksanaan pembangunan sport center Hambalang dan atau proyek-proyek lainnya. Yang mana untuk kasus Hambalang disangkakan terhadap Anas, telah menerima hadiah mobil mewah Toyota Harier oleh PT Adhi Karya yang merupakan BUMN bidang konstruksi.“Dengan KPK kemudian menggunakan jeratan hukum Pasal 11 dan Pasal 12 huruf a. dan b. UU Pemberantasan Korupsi, adalah tepat oleh karena kejahatan korupsi itu telah melanggar Pasal 40 ayat (3) huruf d. dan e. UU Partai Politik,” tuturnya.
Selanjutnya jika dihubungkan dengan Majelis Tinggi Partai (MTP) Demokrat dalam pertemuan di kediaman Ketua MTP Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) di Puri Cikeas, Bogor pada Minggu (24/2) dini hari, yang telah memutuskan pucuk pimpinan Dewan Pimpinan Pusat (DPP) Partai Demokrat (PD) untuk sementara dijalankan empat pimpinan DPP, yakni dua Wakil Ketua Umum Max Sopacua dan Jhonny Alen Marbun, Sekretaris Jenderal Edhi Baskoro Yudhoyono alias Ibas, dan Direktur Eksekutif Toto Riyanto.
“Setidaknya telah melampaui kewenangan yang diatur oleh Pasal 5 ayat (1), ayat (2), dan Pasal 23 ayat (1) UU Partai Politik. Sehingga MK bisa mempertimbangkan dari berbagai undang-undang, termasuk TAP MPR No. XI Tahun 1998, yang membuat keberadaan Partai Demokrat bisa dinilai bertentangan dengan UUD 1945,” imbuhnya.
Ia kemudian mengutip pernyataan dari pengamat hukum Universitas Jember Widodo Eka Tjahyana yang menilai, bahwa penetapan Anas sebagai tersangka sangat memperburuk citra Partai Demokrat, bahkan akan berpengaruh pada Pemilu 2014. Apalagi apabila Anas nanti terbukti menggunakan uang negara seperti dari BUMN (PT Adhi Karya) untuk kegiatan pemenangannya sebagai ketua umum atau kegiatan partai lainnya, maka PD dapat dibubarkan oleh MK. Termasuk partai itu diperkirakan terancam untuk dibubarkan oleh MK, lantaran juga banyaknya kader partai penguasa tersebut yang terjerat kasus korupsi.
Selain itu, ia pun mengutip pernyataan Koodinator Sigma (Sinergi Masyarakat untuk Demokrasi Indonesia), Said Salahudin, Sabtu (23/2), bahwa Pasal 24C ayat (1) UUD 1945 yang mengatur kewenangan MK untuk mengadili pada tingkat pertama dan terakhir yang putusannya bersifat final untuk menguji undang-undang terhadap UUD 1945, memutus sengketa kewenangan lembaga negara yang kewenangannya diberikan oleh UUD 1945, memutus pembubaran partai politik, dan memutus perselisihan tentang hasil Pemilu parpol bisa dibubarkan oleh MK.
Aturan itu menurut Said sudah jelas, tertuang dalam pasal 68 ayat (2) UU No 24 Tahun 2003 tentang MK jo Pasal 2 huruf b Peraturan MK No 2 Tahun 2008 tentang Pedoman Beracara dalam Pembubaran Partai Politik.
Larangan terhadap kegiatan parpol dimaksud pun disebutkan pada Pasal 40 ayat (2) huruf a UU No 2 Tahun 2008, sebagaimana diubah dengan UU No 2 Tahun 2011 tentang Partai Politik. Dikatakan oleh Said bahwa korupsi yang dilakukan secara berkomplot oleh pengurus inti partai yang meliputi ketua umum, bendahara umum, wakil sekretaris jenderal, dan para pejabat lain pada parpol yang sama, tidak bisa disebut sebagai kegiatan korupsi individual oknum parpol, tapi kegiatan korupsi itu harus dikualifikasikan sebagai suatu kejahatan yang dilakukan oleh parpol secara kelembagaan. Sehingga, parpol tersebut bisa dibubarkan.
Salah satu alasan parpol dapat dibubarkan oleh MK, bila kegiatan partai politik bertentangan dengan UUD 1945, atau akibat yang ditimbulkannya bertentangan dengan UUD 1945. Sebelumnya pada 3 Agustus 2012, seniman Pong Hardjatmo beserta Ridwan Saidi, Judilherry Justam, M. Ridha, Gatot Sudatro, dan Masyarakat Hukum Indonesia (MHI), memasukkan permohonan uji materi UU MK tentang pembubaran partai politik di Gedung MK, Jakarta. Dalam permohonan tersebut, mereka mengajukan gugatan untuk pembubaran Partai Demokrat yang dianggap telah merugikan rakyat terkait banyaknya kader partai yang terlibat korupsi. [ach/lensaindonesia.com]


Tidak ada komentar:

Posting Komentar